Selasa, 16 Oktober 2012

Larangan Memotong Rambut dan Kuku bagi Yang akan Berqurban


Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?”

Jawab:
Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.”[1]

Dalam lafazh lainnya,
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”[2]

Maka hadits ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).
Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.

Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[Diambil dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Ifta’]

Penjelasan Larangan Memotong Rambut dan Kuku[3]
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang akan memasuki 10 hari awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.

[Pendapat Pertama]
Sa’id bin Al Musayyib, Robi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian murid-murid Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku (bagi shohibul qurban) dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan qurban. Secara zhohir (tekstual), pendapat pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi shohibul qurban berlaku sampai hewan qurbannya disembelih. Misal, hewan qurbannya akan disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut berlaku sampai tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya pada hadits larangan shohibul qurban memotong rambut dan kuku yang telah disebutkan dalam fatwa Lajnah Ad-Daimah di atas.

[Pendapat Kedua]
Pendapat ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan murid-muridnya. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa larangan tersebut adalah makruh yaitu makruh tanzih, dan bukan haram.
Pendapat kedua menyatakannya makruh dan bukan haram berdasarkan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu pernah berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). Artinya di sini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihrom yang tidak memotong rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di atas dipahami makruh.

[Pendapat Ketiga]
Yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menyatakan tidak makruh sama sekali.
Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makruh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits di atas dan pendapat ini lebih hati-hati. Pendapat ketiga adalah pendapat yang sangat-sangat lemah karena bertentangan dengan hadits larangan. Sedangkan pendapat yang memakruhkan juga dinilai kurang tepat karena sebenarnya hadits ‘Aisyah hanya memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian berjahit dan memakai harum-haruman, yang seperti ini tidak dibolehkan untuk orang yang ihrom. Namun untuk memotong rambut adalah sesuatu yang jarang dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak berqurban.

Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh dipotong?
Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya, membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilrang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang ada di badan.

Hikmah Larangan
Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka.
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang muhrim (berihrom). Namun hikmah yang satu ini dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang berqurban masih boleh mendekati istrinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim.

Senin, 15 Oktober 2012

Saudariku, Kembalilah ke Rumah...




Sungguh merupakan musibah besar yang melanda umat Islam tatkala kaum  muslimah keluar dari rumahnya dalam keadaan berpakaian tetapi telanjang. Padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa perempuan-perempuan semacam itu tidak akan mencium bau surga.

Beliau bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya… (salah satunya) para wanita yang berpakaian tapi telanjang dan berlenggak-lenggok. Rambut kepala mereka seperti punuk unta, mereka itu tidak akan mendapatkan baunya surga padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Saudariku, kalau engkau masih mau mendengar nasihat Nabimu maka kenakanlah jilbabmu dengan benar!

Mengekor Barat

Memang sejak jauh hari Nabi telah memperingatkan bahwa akan ada diantara umat ini yang mengikuti budaya orang-orang terdahulu dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Imam Bukhori telah mencatat sabda Beliau, “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti gaya hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhobb (sejenis biawak) niscaya ada di antara kalian yang ikut masuk pula ke dalamnya.”

Lihatlah wanita-wanita muslimah di sekeliling kita, bukankah selama ini sebagian besar dari mereka menjadi korban budaya barat yang kafir itu? Hampir segalanya mereka tiru; mulai dari cara berpakaian, cara berinteraksi dengan lawan jenis, bahkan sampai pola pikir yang hedonis (mencari kesenangan dunia semata) dan ujung akhirnya mereka turut bercampur baur dengan kaum lelaki di kantor-kantor, di parlemen dan restoran-restoran. Kini terbuktilah perkataan Nabi yang mulia, dan sungguh sangat ironi tatkala mereka melakukan ini semua dengan bertameng emansipasi yang digembor-gemborkan oleh barat.

Ikutilah Jejak Ibunda

Duhai saudariku, andaikata apa yang kalian lakukan ini dengan bercampur baur bersama kaum pria di pemerintahan, di kantor-kantor adalah kemaslahatan untuk kaum muslimah tentulah para isteri Nabi dahulu adalah orang pertama yang melakukan perbuatan sebagaimana yang kalian lakukan sekarang ini? Lalu mengapa kalian melakukan apa yang tidak mereka lakukan? Apakah kalian merasa lebih cerdas dari ibunda ‘Aisyah yang menyadari kesalahannya tatkala berani memimpin pasukan ketika terjadi perang Jamal? Beliau benar-benar menyesal karena melalaikan sebuah sabda Rosululloh, “Tidak akan pernah beruntung kaum manapun yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”(HR. Bukhori). Cobalah bandingkan dengan sebagian kaum muslimah dewasa ini yang dengan bangga memamerkan auratnya di layar kaca yang ditonton oleh ribuan pasang mata! Atau mereka yang dengan berapi-api berteriak-teriak berdemo di jalan-jalan dengan dalih untuk membela hak kaum muslimin, dan lebih lucunya lagi berdalil dengan perbuatan Aisyah yang telah disesali tersebut. Atau mereka yang berkoar-koar di atas mimbar demi mendapatkan kursi DPR serta rela bercampur baur dengan lelaki yang bukan mahromnya. Allohu akbar!, hanya kepada-Nya lah kami mohon pertolongan.

Kembalilah ke Istanamu

Seorang muslimah yang sholihah yang senantiasa menjaga dirinya, memiliki rasa malu dan memelihara kehormatannya itulah yang dipuji oleh syari’at. Dengan aktivitasnya mengurus rumah dan membekali dirinya dengan ilmu syar’i atau mendidik anak-anak maka dengan demikian ia telah turut serta berusaha mewujudkan masyarakat islami. Melalui tangan-tangan dan didikan merekalah akan terlahir pemuda-pemudi yang berbakti kepada Alloh dan Rosul-Nya. Namun sayang sekali betapa sedikitnya wanita semacam ini.
Sumber : http://ummuzakira.blogspot.com


Rabu, 10 Oktober 2012

Sejenak Menghisab Diri


Ditulis Oleh Ustdaz Marwan  
Setiap tubuh manusia di dalamnya terdapat segumpal darah yang terletak di dalam dadanya. Hati itulah kebanyakan dari manusia menyebutnya. Hati merupakan tempat penglihatan Allah atas hambaNya.  Hati adalah tempatnya niat yang dengannya diterima atau ditolaknya suatu amalan dhohir.  Hati adalah tempat yang dengannya mengenal Alloh, mencintaiNya, takut, berharap dan bertawakkal kepadaNya. Sehingga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan berkenaan dengan segumpal darah yang ada pada setiap tubuh manusia tersebut dengan sabdanya :
ألا وَإنَّ في الجسدِ مُضْغَة إذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّه وَإذا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلَّهُ ألا وَهيَ القَلْبُ
Dan ketahuilah sesungguhnya pada tubuh manusia itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota badannya, dan jika ia rusak rusaklah seluruh anggota tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.Hadits Riwayat Bukhory dan Muslim dari sahabat An-Nu’man bin Basyir –radziallahu’anhuma-
Ibnul Qoyyim –Rahimahullah- menyebutkan : Sesuatu yang paling mulia pada tubuh manusia adalah hatinya, Hati adalah yang mengenal Alloh Ta’aala yang senantiasa berusaha tertuju kepadaNya dan yang senantiasa berusaha untuk mencintaiNya, Hati adalah tempatnya iman dan pengetahuan, ia yang diajak berbicara dan yang diutus kepadanya para Rasul, yang dikhususkan dengan pemberian yang paling utama yaitu keimanan dan akal.Adapun seluruh anggota badan hanyalah mengikuti hati dan melayani hati tersebut….- sampai akhir ucapan beliau –
Kegalauan, rasa gundah gulana dan yang kemudian berakibat menjadikan kerasnya hati bak kerasnya batu atau bahkan lebih keras dari batu , adalah disebabkan karena ketertipuan dengan berbagai perhiasan dunia dan pernak-pernik dari fitnah dunia.  Memberikan kebanyakan dari waktunya untuk mencari dunia dan bersenang-senang terhadap perkara dunia yang telah dicapainya. Dan sedikitnya sikap untuk menghadiri halaqoh ilmu dan merasa cukup dengan apa yang ia ketahui dari urusan agamanya.
Belum lagi, dari dunia luar mengancam berbagai hal-hal yang lebih akan memalingkan lagi, yaitu hal-hal yang secara hukum syari’ah mewajibkan untuk menjauhinya. Dulunya sebagian rumah-rumah kaum muslimin dengan kesadarannya sehingga selamat dari perkara yang melalaikan, dengan dikeluarkannya dari rumah tersebut suatu benda berupa televisi dan yang semisalnya. Akan tetapi suatu musibah yang menimpa di zaman ini, bahwa benda dari dunia luar tersebut bukan lagi masuk ke rumah-rumah kaum muslimin akan tetapi sekarang telah masuk ke saku-saku baju anak-anak kaum muslimin.
Para orang tua, para bapak, para ibu dan segenap kaum muslimin di hadapan kita semua terdapat tantangan baru, kelanjutan episode yang telah lalu. Kalau kisah episode yang telah lalu ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya ketika bermain di tempat kakek-neneknya : Nak, di tempat simbah dilarang nonton televisi ya ! Awas nanti saya tanya kepada mbah… atau ungkapan semisalnya. Adapun episode sekarang dan mendatang bagaimana para orang tua akan menasihati anak-anak mereka. Jawabannya adalah kembali kepada para orang tua tersebut yang sadar dan yang memiliki kepedulian atas pendidikan dan akhlak anak-anak mereka masing-masing. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya :
كُلُّ مَولودٍ يولَدُ عَلى فطرةٍ فأبواهُ يُهوِّدانه أو يُنَصِّرانِهِ أو يُمجِّسانِهِ
Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikan anak-anak mereka itu apakah sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau seorang Majusi.
Peran wanita shalihah apakah kedudukannya sebagai dirinya sendiri atau kedudukannya sebagai seorang isteri atau kedudukannya sebagai seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar terhadap perilaku dan akhlak generasi anak-anak kaum muslimin.
Wanita shalihah sebagai dirinya sendiri ia akan memulai dari dirinya untuk memerangi jiwanya berupaya menjalankan setiap perintah dan berupaya menjauhi setiap larangan Allah dan RasulNya. Senantiasa ia memohon kepada Alloh Ta’aala dengan panjatan doa sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallahu’alaihi Wa Sallam dalam setiap khutbah hajah beliau :
وَنَعُوذ باللهِ مِنْ شُرورِ أنفُسِنا وَمِنِ سَيِّاتِ أعْمالنا
Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami.
Seorang wanita shalihah akan senantiasa menghisab jiwanya dan menyelisihi dari setiap seruan kejelekan dari jiwanya. ‘Umar bin al-Khaththab berkata : Hisablah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah jiwa-jiwa kalian sebelum ditegakkan timbangan kepada kalian, sungguh yang demikian itu lebih ringan untuk menghadapi penghisaban di hari esok (kiamat), dan timbanglah jiwa-jiwa kalian untuk menghadapi hari dihadapkan seluruh amalan (hari kiamat) nanti.Firman Allah Ta’aala :
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu) tidak ada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah Ta’aala). (Al-Haaqah : 18 ).
Perkara yang sangat pantas menghiasi diri seorang wanita shalihah adalah tidak lalai dari menghisab jiwanya dan senantiasa menghisab jiwanya apakah pada setiap gerak-gerik tindakannya, setiap langkah kakinya, dan bahkan di saat diamnya. Firman Allah Ta’aala :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan ia menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.(An-Naazi’aat : 40-41).
Wanita shalihah senantiasa berupaya melakukan sebab-sebab yang akan melunakkan hatinya, dan sebesar-besar sebab perkara untuk melunakkan hati adalah senantiasa membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, firman Allah Ta’aala :
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (Qaaf : 37).
Dan Firman Allah Ta’aala :
فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ
Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.(Qaaf : 45)
Dan wanita shalihah adalah seorang yang cermat di dalam memilih sahabat dekat , terlebih di dalam menimba  ilmu agama ini dari siapa  ia mengambilnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
المَرْءُ  مَعَ دِينِ خَليلِه
Seseorang itu bersama agama teman dekatnya.
Firman Allah Ta’aala :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh. Lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri-diri mereka sendiri, mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.(Al-Hasyr : 19).
Sehingga demikian pula seorang wanita shalihah adalah menghindari dan menjauhkan diri dari berteman kepada orang-orang yang berlaku kejelekan dan para pelaku kemaksiatan, karena sesungguhnya seseorang itu adalah siapa yang menjadi teman dekatnya, dan di dalam mengenali seeorang janganlah bertanya kepada seseorang tersebut akan tetapi bertanyalah tentang siapa teman dekat seseorang yang ingin kalian kenal tersebut.
Fenomena berteman secara acak, telah disuguhkan pada jejaring social yang bernama Facebook dan yang semisalnya, akankah wanita muslimah yang masih dipenuhi rasa malu untuk nimbrung di dalamnya? Terlebih kedudukan sebagai wanita shalihah.
Masih banyak sarana untuk mendapatkan ilmu agama ini dengan perkara yang lebih selamat. Tidaklah  semua perkara yang mubah mesti  harus digunakan, apalagi perkara yang mubah tersebut jelas membawa kepada kemudharatan agamanya.  Na’uudzu billahi min kulli syarrin.
http://www.salafy.or.id/kewanitaan/6165/ 
 
Sumber : alkarawanjy.blogspot.com

Wanita Yang Sebaiknya Engkau Cari


Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman
 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (3/473) :
“Termasuk kesempurnaan rahmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada anak Adam: Dia jadikan istri-istri mereka dari jenis mereka sendiri. Dan ditumbuhkan antara mereka “mawaddah” yaitu cinta dan “rahmah” yaitu kasih sayang. Karena seorang laki-laki menahan seorang wanita untuk tetap menjadi istrinya bisa karena ia mencintai wanita tersebut atau karena ia iba dan kasihan terhadapnya, dimana ia telah mendapatkan anak dari wanita tersebut atau wanita itu butuh padanya untuk mendapatkan belanja atau karena kedekatan di antara keduanya dan alasan selain itu.”
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
Abdullah bin Amr ibnul Ash rahimahullah mengkhabarkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu mengkhabarkan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :
Wanita itu dinikahi karena 4 perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, engkau akan bahagia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sifat-sifat wanita yang sepantasnya engkau pilih sebagai istri sehingga ia bisa menjadi pengurus rumahmu dan pendidik anak-anakmu adalah wanita yang memiliki agama dan akhlak yang dapat membantumu untuk taat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yang mengingatkanmu ketika engkau lupa, menolongmu ketika engkau ingat, mengurus dan memperhatikanmu ketika engkau ada, menjaga hartamu dan kehormatannya ketika engkau tidak ada. Dia membuatmu ridha ketika engkau marah, mentaatimu ketika engkau perintah dan berbuat baik serta berbakti kepadamu.
Sesungguhnya wanita mulia yang menjaga kehormatannya tidak akan menyombongkan dirinya di hadapanmu dengan harta dan kecantikan yang ada padanya. Tidak pula dengan kedudukan dan nasab (keturunannya).
Akan tetapi sangat disayangkan dari kenyataan yang kita lihat di sekitar kita sebagian saudara kita dari kalangan salafiyyin justru mengutamakan wanita cantik, atau yang memiliki martabat atau berharta dan meninggalkan wanita penuntut ilmu yang memiliki keutamaan. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’un.
Sumber : Persembahan Untukmu Duhai Muslimah, Penulis : Ummu Salamah As Salafiyah, Penerbit : Al Haura.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman
 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (3/473) :
“Termasuk kesempurnaan rahmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada anak Adam: Dia jadikan istri-istri mereka dari jenis mereka sendiri. Dan ditumbuhkan antara mereka “mawaddah” yaitu cinta dan “rahmah” yaitu kasih sayang. Karena seorang laki-laki menahan seorang wanita untuk tetap menjadi istrinya bisa karena ia mencintai wanita tersebut atau karena ia iba dan kasihan terhadapnya, dimana ia telah mendapatkan anak dari wanita tersebut atau wanita itu butuh padanya untuk mendapatkan belanja atau karena kedekatan di antara keduanya dan alasan selain itu.”
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
Abdullah bin Amr ibnul Ash rahimahullah mengkhabarkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu mengkhabarkan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :
Wanita itu dinikahi karena 4 perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, engkau akan bahagia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sifat-sifat wanita yang sepantasnya engkau pilih sebagai istri sehingga ia bisa menjadi pengurus rumahmu dan pendidik anak-anakmu adalah wanita yang memiliki agama dan akhlak yang dapat membantumu untuk taat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yang mengingatkanmu ketika engkau lupa, menolongmu ketika engkau ingat, mengurus dan memperhatikanmu ketika engkau ada, menjaga hartamu dan kehormatannya ketika engkau tidak ada. Dia membuatmu ridha ketika engkau marah, mentaatimu ketika engkau perintah dan berbuat baik serta berbakti kepadamu.
Sesungguhnya wanita mulia yang menjaga kehormatannya tidak akan menyombongkan dirinya di hadapanmu dengan harta dan kecantikan yang ada padanya. Tidak pula dengan kedudukan dan nasab (keturunannya).
Akan tetapi sangat disayangkan dari kenyataan yang kita lihat di sekitar kita sebagian saudara kita dari kalangan salafiyyin justru mengutamakan wanita cantik, atau yang memiliki martabat atau berharta dan meninggalkan wanita penuntut ilmu yang memiliki keutamaan. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’un.
Sumber : Persembahan Untukmu Duhai Muslimah, Penulis : Ummu Salamah As Salafiyah, Penerbit : Al Haura.
 
Sumber : alkarawanjy.blogspot.com
 

Rabu, 12 September 2012

Kata-kata Terakhir Imam Syafi'i, Abu Hanifah, dan Imam Malik Sebelum Wafat

 
Imam Al-Muzani sahabat Imam Asy Syafi’i berkata : ” saya menjenguk Imam Asy Syafi’i saat beliau sakit yang menjelang wafatnya,kemudian saya bertanya kepadanya  : ”Wahai Abu Abdillah,bagaimana keadaanmu? “,beliau mengangkat kepalanya,lantas berkata :
 
 ” Aku akan pergi dari dunia ,berpisah dengan sahabat sahabatku dan bertemu dengan kejelekan amalku,kemudian aku akan menghadap Allah,aku tidak tahu apakah ruh ku akan menuju surga lalu kuucapkan kata selamat padanya,ataukah keneraka lalu aku menolaknya  “,selanjutnya beliau menangis.
******
Menjelang Akhir Hidupnya di dunia dan permulaan hidupnya di akhirat, salah seorang murid beliau yang bernama Imam Muzani datang membesuk.Saat itu Imam Syafi’i hanya bisa terbaring di pembaringan. Imam Muzani bertanya kepadanya, “Bagaimana Keadaanmu?” Beliau menjawab, “Aku merasa sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini dan berpisah dengan teman-teman. Segelas Anggur Kematian telah aku teguk dan hanya kepada Alloh saja aku kembali. Sungguh, demi Alloh aku tidak tahu, kemana ruhku akan berjalan. Ke Surgakah atau ke Neraka? Jika ke Surga maka aku akan selamat. Namun, jika ke Neraka, maka aku akan celaka.”

Setelah berkata demikian, Beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut:
Kala hatiku mengeras dan jalanku mulai menyempit
Aku hanya bisa mengharap titihan ampunan-Mu
Dosa-dosaku amat besar, namun jika aku bandingkan
Dengan ampunan-Mu, ya Robb, ampunan-Mu jauh lebih besar
Engkau Senantiasa melimpahkan ampunan atas segala dosa
Dan Engkau tiada pernah bosan memberi ampunan.”
(Sifat Ash-Shofwah, 3/146)
Sumber : Lilin-lilin Yang Tak Pernah Padam, Biografi Para Ulama Salaf.
Penulis : Abu Malik Muhammad ibn Hamid ibn Abdul Wahab

Kematian Abu Hanifah Rahimahullah

Imam Abu Hanifah menjelang wafatnya berkata : ” Sayangilah aku,sebab aku menderita di tengah tangah ahli dunia,kuobati diriku wahai …..Dzat Yang Maha Penyayang “.

Kematian Imam Malik Rahimahullah

Isma’il Bin Abi Uwais berkata : ” ketika Malik sakit maka aku bertanya pada sebagian keluarganya tentang apa yang diucapkannya menjelang wafat,mereka menjawab : ” Beliau bersyahadat,lalu berucap : ” Segala urusan hanya milik Allah,sebelum dan sesudahnya “.kemudian beliau wafat.
Sumber  :     Buku Pemandangan Sekarat, Penerbit :     Pustaka Al Adwa, Penerjemah : Ust Abu Hamzah Yusuf
*****

Kisah orang-orang shalih ketika ajal menjemput mereka

Penulis : Ibrahim bin ‘Abdullah al-H’zimy
Berikut ini beberapa kisah orang-orang shalih ketika ajal menjemput mereka

1. Abu Sufyan bin al-H’rits Beliau adalah anak paman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam (sepupu beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam). Tatkala ajal menjemputnya, dia berkata kepada keluarganya, ‘Janganlah kalian menangisiku sebab aku tidak pernah sekalipun menyentuh dosa semenjak masuk Islam.’

2. ‘Umar bin Abi Rabi’ah Tatkala ajal menjemputnya, saudaranya, al-H’rits menangis, lalu dia berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Wahai saudaraku, jika yang kau permasalahkan terhadap diriku adalah untaian sya’ir yang pernah kau dengar dari ucapanku berbunyi, Aku katakan kepadanya (wanita) dan dia berkata kepadaku, Semua budakku adalah bebas Sungguh! Aku tidak pernah menyingkap sekalipun jua sesuatu yang haram.’ Maka berkatalah al-H’rits, ‘Segala puji bagi Allah, Engkau telah membuat hatiku tenang.”

3. Abu Y’suf Bisyr al-Wal’d berkata, ‘Aku pernah mendengar Abu Yusuf berkata pada saat sakit yang membawa ajalnya, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun menyentuh farji (melakukan hubungan badan) secara haram saat aku menyadarinya. Dan aku juga tidak pernah sekalipun memakai satu dirham dari yang haram saat aku menyadarinya.’

4. Abu Bakar bin ‘Ayyasy Ibrahim bin Abu Bakar ‘Ayyasy berkata, ‘Ketika menjelang ajal, aku menyaksikan ayahandaku, lalu aku menangis karenanya. Maka dia berkata kepadaku, ‘Nak, Ayahandamu ini tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan keji.’ ‘

5. Hafsh bin Ghayy’ts ‘Umar bin Hafsh bin Ghayy’ts berkata, ‘Tatkala ajal menjemput ayahandaku, dia sempat pingsan, lalu aku menangis di samping kepalanya. Maka, dia berkata kepadaku saat tersadar, ‘Kenapa gerangan kamu menangis?.’ Aku menjawab, ‘Karena akan berpisah denganmu.’ Dan tatkala aku masuk pada pembicaraan seputar qadla (kematian), dia berkata, ‘Janganlah kamu menangis, sesungguhnya aku tidak pernah sekalipun menggunakan celanaku ini untuk sesuatu yang haram. Dan tidak pernah pula ada dua orang yang bersengketa di hadapanku duduk, lalu aku telanjangi (permalukan) salah seorang dari mereka yang terkena vonis.’

6. al-Haytsam bin Jamil Sufyan bin Ahmad al-Mash’shy berkata, ‘Tatkala sedang sekarat, aku menyaksikan al-Haytsam bin Jamil telah diarahkan ke kiblat dan budak wanitanya menutupi kedua kakinya, lalu dia sempat berkata, ‘Tutuplah keduanya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui bahwa keduanya tidak pernah sekalipun berjalan untuk hal-hal yang haram.’

(SUMBER: al-Maw’id:Jann’t an-Na”m karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-H’zimy, hal.82)
http://kaahil.wordpress.com/2012/05/05/inilah-kata-kata-terakhir-imam-syafii-abu-hanifah-imam-malik-rahimahumullah-sebelum-wafat/

Selasa, 11 September 2012

Bolehkah Istri Mengimami Suami


Bolehkah saya mengimami suami saya dalam shalat karena saya lebih paham agama dan berpendidikan dengan mengenyam bangku pendidikan di Fakultas Syari’ah sedangkan suami saya setengah buta huruf?
 
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menjawab, “Tidak boleh wanita mengimami laki-laki, baik lelaki itu suaminya, putranya, maupun ayahnya. Karena memang wanita tidak mungkin menjadi imam bagi kaum lelaki dan itulah sebabnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam  bersabda : 
 
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum bila wanita yang mengurusi perkara mereka4.”

Bahkan, sampaipun si wanita lebih ahli membaca al-Qur’an daripada si lelaki, tetap saja si wanita tidak boleh mengimami lelaki tersebut. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

 يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah5….”
Sekalipun wanita berada bersama lelaki tetaplah tidak termasuk dalam sasaran pembicaraan hadits di atas (karena yang dituju oleh hadits adalah lelaki dengan lelaki saja6).

Buktinya bisa kita baca dari firman Allah Ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok7. Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.” (al-Hujurat: 11)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu kaum lelaki dan kaum wanita8. Dengan demikian wanita tidak masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah….”
(Fatawa, 1/382)

Catatan Kaki:
4 HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya

5 HR. Muslim no. 1530

6 Adapun wanita tidak menjadi sasaran pembicaraan hadits di atas bila shalat bersama lelaki, sehingga sekalipun di antara jamaah wanita ada yang lebih paham dan lebih banyak hafalan al-Qur’annya daripada seluruh jamaah laki-laki, tetap saja si wanita tidak bisa dikedepankan sebagai imam.

7 Yang dimaksud kaum di sini adalah khusus kaum lelaki, karena untuk wanita disebutkan dalam kelanjutan ayat.

8 Seandainya kata “kaum” sudah mencakup wanita niscaya tidak perlu lagi disebutkan kelanjutan ayat di atas, “Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.”

Sumber : http://asysyariah.com/istri-mengimami-suami.html
http://kaahil.wordpress.com/2012/09/08/hukum-isteri-mengimami-suaminya-bolehkah-saya-mengimami-suami-saya-dalam-shalat-karena-saya-lebih-paham-agama-dan-berpendidikan-dengan-mengenyam-bangku-pendidikan-di-fakultas-syariah-sedan/

Jumat, 07 September 2012

Kiat-kiat Memiliki Anak Shalih


Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan banyak nikmat yang sangat besar atas hamba-hambaNya , dan diantara nikmat tersebut adalah anak yang shalih, ia merupakan amalan shalih bagi kedua orang tuanya semasa hidup dan setelah mereka meninggal, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“jika seorang hamba telah meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya” (riwayat Muslim no.1631)
Oleh karena itu para nabi dan orang-orang shalih terdahulu memiliki perhatian khusus dalam perkara ini, karena didalamnya terdapat kebaikan yang sangat besar.

Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang keadaan mereka :
“Di sanalah Zakariya berdo’a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a”. (Ali-Imran : 38)

Juga firmanNya :
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugeraahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqaan : 74)

 Sudah sepantasnya bagi kita untuk turut berusaha dan memperhatikan hal ini, dan diantara kiat-kiat untuk memiliki anak yang shalih sebagai berikut :
1. Berdoa kepada Allah agar diberikan keturunan yang shalih
Karena Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berdoa dan meminta kepadaNya, serta memberi jaminan akan mengabulkan doa mereka :
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku  akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Al-Mu’min : 60).

2. Memperbaiki diri sendiri
Allah Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim : 6)
 Allah Ta’ala memerintahkan diri kita terlebih dahulu agar terhindar dari api neraka kemudian keluarga kita, dan baiknya ayah dan ibu merupakan sebab yang sangat berpengaruh terhadap seorang anak karena mereka adalah panutan bagi anak-anaknya, dan anak-anak akan mengikuti dan mencontohi kedua orang tuanya, anak laki-laki akan mencontohi ayahnya dan anak perempuan akan mencontohi ibunya, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thuur : 21)

3. Memilih istri yang Shalehah atau suami yang shalih.
Barangsiapa yang ingin memiliki hasil panen yang baik dan berkualitas maka hendaknya ia mencari tanah yang baik dan berkualitas pula. Diantara hikmah yang besar dari sebuah pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan yang shalih yang hanya menyembah Allah Ta’ala dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara : karena harta, nasab, kecantikan dan agamanya, maka pilihlah yang memiliki agama pasti kalian akan beruntung.” (riwayat Al-Bukhary no.5090 dan Muslim no.1466).

Juga sabdanya :
“Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang paling baik dimiliki oleh seseorang? : wanita shalihah.”
 (riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/363 no.3281 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)
 Demikian pula sebaliknya, seorang wanita mencari dan memilih suami yang shalih.

Tentunya yang berperan penting dalam hal ini adalah kedua orang tua si wanita, merekalah yang akan menjadi sebab terwujudnya keturunan shalih yang akan keluar dari rahim putrinya, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menasehatkan dan mewasiatkan kepada kedua orang tua agar memilih bagi putri mereka seorang pria yang shalih

 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Jika orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang melamar, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian), jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi.” (riwayat At-Tirmidziy no.1084 dan Ibnu Majah no.1967).

Demikianlah tuntunan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi salam dalam memilih calon menantu, yang dilihat adalah agama dan akhlaknya walaupun ia datang tanpa kendaraan dan pakaian yang mewah, karena harta yang banyak tidaklah bermanfaat jika pemiliknya adalah seorang yang tidak memiliki agama dan berakhlak buruk.

4. Membaca doa sebelum melakukan hubungan suami istri
Berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri diantara sebab yang membantu untuk mendapatkan keturunan yang shalih, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :

“jika salah seorang diantara kalian membaca :
باسم الله, اللهم جنَبْنا الشيطان, و جنَبِ الشيطان ما رزقْتَنا
“Bismillah, ya Allah jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari rizki yang engkau berikan kepada kami”, maka keduanya diberikan seorang anak yang tidak akan di ganggu oleh setan selama-lamanya.” (riwayat Al-Bukhariy no.141 dan Muslim no.1434).

Yang dimaksud dengan kalimat “tidak akan diganggu oleh setan” adalah anak itu tidak terfitnah sehingga keluar dari agamanya menuju kekufuran dan tidak dimaksud dengannya ia maksum dari berbuat maksiat, hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Baary  (9/285-286).

5. Mendidik anak dengan amalan shalih
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Perintahkanlah anak kecil untuk shalat ketika ia berumur tujuh tahun, dan jika ia berumur sepuluh tahun maka pukullah (kalau ia meninggalkan shalat).” (riwayat Abu Dawud no.494 dan At-Tirmdziy no.407 dan berkata : “ini dalah hadits yang hasan”).

Berkata Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah tatkala mengomentari hadits ini :
“para ahli fiqih mengatakan : demikian pula puasa, agar hal itu menjadi latihan baginya untuk mengerjakan ibadah, supaya nantinya ia tumbuh dewasa dalam keadaan senantiasa di atas peribadahan dan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran, hanya Allah yang memberi  taufik” (tafsir Ibnu Katsir 8/167 tafsir surah At-Tahriim : 6).

Wallahu Ta’ala a’lam bishshawaab. (MT)

Rabu, 05 September 2012

Sebuah Renungan bagi Sang Penuntut Ilmu


Tulisan ini saya share dari seorang ikhwan.. Semoga bisa menjadi nasihat terutama bagi diri saya sendiri dan juga bagi kita semua pada umumnya.. Berikut merupakan isi nasihatnya bagi kita semua :


Di awal-awal saya tiba di Yaman, seorang teman Yamani meminjamkan sebuah kitab yang berjudul Minhaj Thalibil Ilmi. Kitab yang ditulis oleh salah seorang murid Asy Syaikh Muqbil ini berisi silsilah durus, daftar kitab yang dipakai oleh para ulama dan harus dipelajari oleh seorang penuntut ilmu agar bisa mapan dalam ilmu. Begitu membaca satu persatu judul kitab-kitab tersebut saya baru sadar bahwa perjalanan ini akan sangat panjang. Seingat saya, di antara judul kitab-kitab tersebut:


Dalam bidang tauhid:

- Al Qawaidul Arba’
- Al Qoulul Mufid fi Adillatit Tauhid
- Al Waajibat Al Mutahattimaat
- Al Ushul Ats Tsalatsah
- Kitaabut Tauhid
- Kasyfu Asy Syubuhaat
- Tathiirul I’tiqaad
- Fathul Majid
- Taisir Azizil Hamid


Dalam bidang Aqidah – Asma was Sifaat:

- Lum’atul I’tiqaad
- Al Qowaaidul Mutsla
- Al Aqidah Al Wasithiyah
- Al Aqidah At Thawiyyah
- Syarh At Thahwiyyah
- Risalah At Tadmuriyyah
- Syarhus Sunnah


Dalam bidang hadits:

- Arbain An Nawawiyah
- Umdatul Ahkam
- Bulughul Maram
- Al Lu’lu’ wal Marjaan
- Shahih Al-Bukhari
- Shahih Muslim
- Kutubus Sunan


Dalam bidang bahasa Arab:

- Al Aajurumiyyah
- At Tuhfatus Saniyyah
- Mutammimah Al Ajurumiyyah
- Qatrun Nada
- Alfiyyah Ibnu Malik


Dalam bidang Imla’

- Tuhfatul Markaziiyyah
- Qawaid Al Imla’


Dalam Bidang Mustalahul Hadits:

- Al Baiquniyyah
- Mukhtashar Ulumil Hadits
- Al Muqidhah
- Tadribur Rawi
- Dhawabith Jarh wat Ta’dil
- Syarh Ilal At Tirmidzi


Dalam Bidang Ushul Fiqh:

- Al Waraqaat
- Al Ushul min Ilmil Ushul
- Al Mudzakkiraat
- Ar Risaalah karya Imam Asy Syafi’i


Dalam bidang ushul tafsir:

- Ushul fi Tafsirr
- Muqaddimah Ushul Tafsir Ibni Taimiyyah
- Qawaidul Hisan
- Al Itqan lis Suyuthi


Dan beliau hafizhahullah masih menyebutkan daftar kitab yang panjang yang butuh waktu yang panjang pula untuk mempelajarinya.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa ilmu agama begitu luas. Taruhlah kita enggak usah hitung ilmu-ilmu alat. Cukup ambil tauhid, aqidah, dan fiqh, yang berhubungan ibadah sehari-hari dan yang kita perlukan untuk mendakwahi keluarga dan orang-orang terdekat. Sudahkah kita mencicipi kitab tersebut dengan mempelajarinya? Bahkan mungkin di antara kita ada yang baru pertama kalinya mendengar judul kitab-kitab tersebut?


Sekarang kita masuk ke inti tulisan ini….

Kalau sudah tahu betapa banyaknya perkara yang perlu kita pelajari, masihkah kita habiskan waktu untuk mengurusi perkara-perkara yang tidak bermanfaat? Atau bahkan yang lebih parah dari itu, kita sibukkan diri kita dengan berbagai fitnah yang sebenarnya bukan porsi kita untuk mengurusinya?


Mungkin di antara kita sudah lama mengenal dakwah. Ada yang sudah lima tahun, sepuluh, bahkan belasan tahun sudah mengenal dakwah salafiyah. Dari jangka waktu yang panjang tersebut, sudah seberapa banyak ilmu Diin yang sudah kita pelajari dan kita amalkan?


Wallahi demi Allah, saya banyak melihat ikhwah -semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua- bertahun-tahun mengaji tapi sama sekali tidak nampak perubahan dari sisi ilmu dan amal. Tapi anehnya ketika diajak bicara tentang fitnah, si fulan hizbi, ustadz fulan sudah menyimpang, dan tema-tema yang semisalnya masya ALLAH.. Sepertinya ilmunya sudah begitu luas. Yang seperti ini tidaklah sepantasnya.


Bukan berarti kita meninggalkan dari memperingatkan dari dai-dai penyesat umat. Tapi semua ada porsinya. Pikirkan diri kita, keluarga kita, orang tua kita, karib kerabat kita. Bukankah mereka butuh dakwah? Dan bukankah dakwah butuh kepada ilmu? Kalau kita sibukkan diri dengan fitnah, kapan kita sibuk dengan ilmu? Kapan kita mau berdakwah? Apakah kita lantas ingin berdakwah tanpa ilmu?


Sebagian ikhwan mengatakan “Kalau kita enggak ikut-ikutan bicara fitnah, takutnya kita dibilang hizbi, dibilang memble, mumayyi’ dan seterusnya…” Ya akhi fillah, kenapa harus takut? TAKUT itu hanya kepada ALLAH. Bukan kepada manusia. Kalau memang bukan maqam kita untuk bicara, kenapa harus takut untuk tidak bicara?


Mungkin ini sedikit nasihat dari ana, saudaramu fillah. Tidaklah nasihat ini disampaikan melainkan karena kecintaan kepada antum dan juga berbagi dari pengalaman, belajar dari kesalahan yang sudah terjadi, agar tidak kembali terulang pada diri kita.


Waktu terus berjalan. Kita tidak tahu kapan Allah akan cabut nyawa kita. Akankah kita masih sibukkan diri dengan fitnah di tengah kejahilan yang melanda?
http://www.facebook.com/groups/asysyariah/permalink/10151182938156212/

Nasehat Syaikh Albani

“Aku nasehatkan untuk saya pribadi khususnya dan untuk saudara-saudaraku kaum muslimin pada umumnya agar bertaqwa kepada Allah. Diantara bagian-bagian taqwa yang akan aku nasehatkan adalah :

Pertama, Hendaklah kalian menuntut ilmu syar’i dengan ikhlash karena Allah, janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan, ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum.

Kedua, diantara penyakit yang menimpa para penuntut ilmu syar’i adalah ujub dan lupa daratan, dia merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani berpendapat sendiri tanpa mengambil bantuan dan penjelasan ulama’ salaf. Sebagaimana mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan taufiq kepada mereka, berupa ilmu yang benar dan adab-adabnya, bahkan mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan mereka menyangka bahwa mereka telah memiliki kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapat-pendapat yang mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar berlandaskan al-Kitab dan as-Sunnah.

Maka nampaklah pendapat-pendapat ini dari pemikiran-pemikiran yang tidak matang, mereka menyangka bahwa fatwa-fatwa tersebut adalah ilmu yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Maka, mereka sesat dengan pemikiran-pemikiran tersebut dan menyesatkan banyak manusia, dan kalian mengetahui semuanya diantara dampak negatif dari fenomena tadi adalah munculnya kelompok-kelompok di sebagian negeri islam mengkafirkan kelompok-kelompok lainnya dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, tidak bisa kami kemukakan dalam kesempatan yang singkat ini, karena pertemuan kami ini sekarang khusus sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada para penuntut ilmu dan juru da’wah, oleh karena itu saya nasehatkan saudara-saudara kami dari ahli sunnah dan ahli hadits di seluruh negeri islam agar mereka sabar dalam menuntut ilmu, dan agar mereka tidak tertipu dengan ilmu yang mereka miliki sekarang.

Mereka harus mengikuti jalan yang telah digariskan, jangan sekali-kali mereka bersandar dengan mengandalkan semata-mata pemahaman mereka atau mereka beri nama dengan ijtihad mereka. Saya sering sekali mendengar dari saudara-saudara kami mereka mengatakan dengan sangat mudahnya, “saya berijtihad” atau “saya berpendapat demikian” tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari ucapan-ucapannya.

Mereka tidak mengambil bantuan dari kitab-kitab fiqh dan hadits serta pemahaman ulama terhadap kitab-kitab tersebut. Yang ada hanya hawa nafsu dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, sedangkan penyebabnya adalah ujub dan lupa daratan. Oleh karena itu, sekali lagi aku nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar menjauhi segala akhlak yang tidak islami, di antaranya agar mereka tidak tertipu oleh ilmu yang telah didapatkannya serta tidak tergelincir ke dalam ujub.

Ketiga, terakhir, agar mereka menasehati manusia dengan cara yang lebih baik, menjauhi cara-cara yang kasar dan keras dalam berdakwah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl : 125)

Allah berfirman dengan ayat tadi karena kebenaran itu sendiri berat atas manusia atau menerimanya, dan berat atas jiwa-jiwa mereka, oleh karena itu secara umum jiwa manusia sombong untuk menerimanya, kecuali sedikit orang yang dikehendaki Allah untuk langsung menerimanya. Apabila beratnya kebenaran itu atas jiwa manusia ditambah dengan beratnya cara berupa kekasaran dalam da’wah, maka itu berarti menjadikan manusia lari dari da’wah kebenaran.

Kalian tentu mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat orang lari (dari kebenaran). Beliau mengulanginya tiga kali. Sebagi penutup, saya memohon kepada Allah Ta’ala agar jangan menjadikan kami sebagai orang-orang yang membuat orang lain lari dari kebenaran, akan tetapi jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memiliki hikmah dan orang-orang yang mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

http://ummuahmadzaydan.blogspot.com/2010/07/nasehat-syaikh-albani.html

Semut dan Ikan pun Turut Berdoa


Oleh : Al-Ustadz Abu Nashim Mukhtar “iben” Rifa’i

Pembaca,rahimakallahu…
          Berbondong gelombang demi gelombang langkah kaki diarahkan. Ayunan tangan turut menyertai setiap hembusan nafas manusia-manusia hebat di atas hamparan bumi. Jarak bukanlah penghalang walau jauh tak terkira. Panas dan hujan bagi mereka adalah sahabat dekat. Terik matahari tidak mereka hiraukan. Ya,manusia-manusia hebat itu. Ada apa dengan mereka?
            Kampung halaman, Siapa di antara kita yang tak merindukan negeri kelahiran? Ada sejuta kenangan di sana,tempat setiap insan besar dan dibesarkan. Namun bagi mereka,manusia-manusia hebat itu,berpisah dan meninggalkan kampung halaman adalah mengasikkan. Walau berat memang,meski pahit tentunya. Waktu bukanlah alasan walau terasa lama. Mereka,manusia-manusia hebat itu,yang selalu dinantikan,”Di purnama bulan apa kalian akan kembali?”. Mengapa mereka melawan arah rindu yang terkekang?
            Sungguh,mereka benar-benar manusia hebat. Mereka adalah para pengembara dari satu negeri menuju negeri selanjutnya. Tidak ada tujuan yang dicari kecuali ilmu agama,firman Allah dan sabda rasul Nya.Mereka adalah para pecinta ilmu yang sedang mengemban misi suci ,thalabul ilmi. Untuk apa?
            Sejarah telah diukir dan terlukis indah dengan kisah-kisah mengharu biru tentang mereka,para ulama’ panutan umat. Perjuangan berat dan pengorbanan yang sulit telah mereka lalui.Dan kita pun pasti bertanya-tanya,”Demi apa mereka lakukan itu semua?”

Pembaca,hafidzakallahu…
Alangkah bahagianya seseorang yang selalu didoakan dengan kebaikan dan dimohonkan ampunan. Siapa yang tak ingin?
Pernahkah terbayang jika yang mendoakan adalah makhluk sejagat? Yang ada di langit berlapis dan yang hidup di atas permukaan bumi,semuanya turut berdoa untuk kebaikan untuk Anda. Bahkan semut-semut di sarangnya juga ikan-ikan di air tempat hidupnya tak ketinggalan untuk mendoakan kebaikan. Untuk siapa?
Semua mendoakan kebaikan kepada hamba yang selalu mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada masyarakatnya. Sungguh menyenangkan! Dan,hanya ada satu tangga untuk meraihnya yaitu thalabul ilmi.
Maka,terjawablah sudah tanda tanya yang sempat lahir di atas tadi!
Mereka,manusia-manusia hebat itu,rela melakukan perjalanan jauh berbulan bahkan bertahun dengan meninggalkan kampung halaman dan sanak kerabat, salah satu sebabnya adalah harapan yang selalu hadir di dalam hati dengan sabda Rasulullah,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”[1]
Subhanallah!
Pembaca,baarakallahu fiik…
Jangan heran dan jangan kaget! Allah Maha Mampu untuk menjadikan makhluknya dapat berbicara dan berdoa.Amatlah mudah bagi Allah untuk mengijinkan semut dan ikan turut mendoakan kebaikan untuk para pemilik ilmu agama.
Allah berfirman dalam ayat Nya,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
            Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. 17:44)
Ibnu Katsir menjelaskan,
“Tidak ada satu pun makhluk kecuali ia pasti bertasbih dengan memuji Allah. Namun,kalian tidak dapat mengerti tasbih mereka,wahai segenap manusia. Sebab,berbeda  dengan bahasa kalian.
Hal ini berlaku secara umum untuk hewan binatang,pohon tetumbuhan dan benda-benda mati.
Pendapat ini adalah yang paling masyhur dibanding pendapat lain”[2]
Pembaca,arsyadakallahu…
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud,beliau berkata,
“Dulu kami dapat mendengar tasbih dari makanan yang sedang disantap”
Dalam sebuah riwayat,sahabat menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengambil beberapa butir kerikil lalu meletakkannya di atas telapak tangan beliau,ternyata kerikil-kerikil tersebut bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Abu Bakar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Umar,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih. Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.
Lalu Rasulullah mengambil kerikil-kerikil tersebut dan meletakkannya di atas telapak tangan Utsman,ternyata kerikil-kerikil itu bertasbih.Kemudian beliau meletakkan kembali di atas tanah dan kerikil-kerikil itu pun diam.[3]
Luar biasa,bukan?
Pembaca,rahimakallahu…
Thalabul ilmi akan membawa kita menuju sebuah dunia yang dipenuhi dan dihiasi oleh doa-doa seluruh makhluk sejagat raya.
Dan Anda? Di manakah letak Anda dari peta kebaikan semacam ini? Duduk terdiam tanpa terbersit untuk menjadi seperti mereka,yang pandai dan mengerti tentang agama? Tidakkah Anda ingin berada di barisan shaf terdepan?
Bersemangatlah,Saudaraku,untuk mempelajari ilmu-ilmu agama Islam! Sebab untuk orang semacam Anda,semut dan ikan pun turut berdoa. Baarakallahu fiik
[1] Hadits Abu Umamah Al Bahili riwayat Tirmidzi () di shahihkan oleh Al Albani.
[2] Tafsir Ibnu Katsir
[3] Dishahihkan oleh Al Albani dalam Dzilalul Jannah
http://kaahil.wordpress.com/2012/08/28/keutamaan-belajar-agama-mengajarkannya-semut-dan-ikan-pun-turut-berdoa-hukum-belajar-agama-dari-buku-dan-kaset/#more-4864

Selasa, 04 September 2012

Jauhilah Sifat-sifat Munafik

Oleh : Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak

Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.

Pengertian nifaq (kemunafikan)

Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)

Jenis nifaq (kemunafikan)

Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar

Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Bahaya kemunafikan asghar

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Jauhi sifat-sifat munafik

Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: …وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ…
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)

Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)
Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.
Sumber: http://www.asysyariah.com