Oleh : Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak
Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di
dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan
permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang
melakukan perbaikan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا
إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ
وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan
kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang
yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang
melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا
أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ
وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana
orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami
sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah,
sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka
tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika
di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى
نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ
جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ
هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ
وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ
نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ
بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ
مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا
بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ
وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ
وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan
perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira
untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang
kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari
ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada
orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil
sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke
belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara
mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan
di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu
memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami
dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi
kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami)
dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga
datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh
(setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam
orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam.
Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan
serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di
dalamnya.” (At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan
keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga
seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga
menjauhi sifat-sifat mereka.
Pengertian nifaq (kemunafikan)
Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan
menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)
Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar
(kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan
i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan
keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan)
adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya.
Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta
ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui
batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika
diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar
semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan
ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan
Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)
Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar
Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan
menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju
kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat
dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga
orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan
dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul
‘Ulum wal Hikam)
Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh
orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya
mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang
orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab,
“Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Jauhi sifat-sifat munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah
disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum
muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus
dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab
rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan
akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana
orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut
keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang
terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya
keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ
كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara
tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara
perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan
sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika
membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan
jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha
memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ
عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا
بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan
mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah
orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati
perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي
الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari
mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan
mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ
لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ
مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ.
فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا
أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya
jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami
akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.”
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya,
mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah
orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah,
karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu
berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati)
perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan
yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun
perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya
lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling
besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang
(kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ
وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: …وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا
لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى
لَهُ…
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan
mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at
pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia
mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati
perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)
Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira
kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah
prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan
pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa
dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan
mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan
mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan
sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah
dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku
tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan
menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga
kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai
politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah
ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat
manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)
Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan
menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan
sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang
akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis
dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.
Sumber: http://www.asysyariah.com